Gedung-gedung itu semakin tinggi setiap tahunnya.
Mencakar langit tanpa peduli akan sekitarnya.
Entah apa maksud induk semang ku.
Ia terus memahat batu di atas gunung.
Mungkin ia fikir akan dapat menandingi Gedung-gedung ganas itu.
Yang bahkan dalam setiap jam terus meninggi sebanyak 3 cm.
Bayangkan sudah seberapa tinggi kini gedung itu.
Bahkan sejak 20 tahun lalu gedung itu saja gedung itu sudah setinggi ayahku.
Aku kira ayahku akan menjadi orang yang tertinggi di dunia.
Ternyata tidak.
Lalu mengapa induk semang ku ini tak pernah berhenti memahat batu-batu itu.
Tak habis fikir ku dibuatnya.
Kini gelap menyapa.
Kehangatan meninggalkan ku di tengah kegelapan.
Gedung-gedung itu telah mencuri semuanya.
Cahaya dan kehangatan sang surya direnggut oleh Gedung-gedung itu.
Menyisakan kami di dasar bumi.
Sendiri.
Kedinginan.
Kelaparan.
Induk semang kini turun dari atas gunung.
Dia tak membawa apapun.
Aku kecewa dengannya.
Namun dia mengajak kami Mendaki keatas gunung bersamanya.
Aku menolak, namun mereka mengikutinya keatas gunung.
Dalam diam ku-ikuti mereka.
Menyisakan jarak agar aku tak tersesat.
Kulihat puing-puing bangunan yang telah hancur sepanjang kaki gunung.
Akhirnya aku tiba diatas.
Induk semang rupanya menyadari keberadaan ku dari tadi.
Dia menghampiri ku.
Merangkul ku.
Dan menunjukan kepada ku.
Alam ini.
Alam ini.
Alam ini.
Telah mati.
Tak ada pohon yang dapat dijadikan dinding yang hangat lagi.
Tak ada tahan liat yang baik untuk di jadikan piring lagi.
Semua telah teracun.
Kini kumelihat hasil kerja sang induk semang.
Batu yang selama ini ia pahat.
Berbentuk cawan walau tidak sempurna.
Batu itu menampung air dari langit.
Langit yang bersedih.
Hanya air.
Dia melakukan semua ini hanya demi air.
Namun sesaat dia membuka kantung di bajunya.
Sengambil benih yang Terselip dan memasukkan pada air tersebut.
Kini awal kehidupan dimulai.
Setelah semua amarah.
Kekecewaan.
Kesedihan.
Setelah semua.
Komentar